4.15.2009

Setelah Kalah, Caleg Tarik Sumbangan

dikutip dari : detik.com

Jakarta - Sejumlah caleg menarik kembali sumbangannya pada publik setelah tahu kalah pemilu. Mereka mencabuti sumbangan tiang listrik, karpet untuk pengajian atau pun menyegel sekolah.

Ekspresi kekecewaan itu ditumpahkan caleg karena mimpi-mimpi meraih kekuasaan kandas di tengah jalan.

Koordinator Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (FORMAPPI), Sebastian Salang, mengatakan fenomena itu muncul lantaran motif caleg bukanlah pengabdian melainkan kekuasaan semata.

"Mereka bukan yang membina diri dalam organisasi politik maupun partai politik. Mereka bukan politisi maka mereka tidak siap mental dengan realitas polilik, termasuk konsekuensi tidak dipilih walau pengeluaran besar dan sumbangan besar," kata Sebastian kepada detikcom, Rabu (15/4/2009).

Menurut dia, caleg-caleg tersebut adalah orang yang ingin masuk politik hanya karena punya mimpi ingin dapat fasilitas, kompensasi ekonomi, atau dengan kekuasaan bisa memperkaya diri atau mendapatkan apa yang diinginkan.

"Motifnya bukan pengabdian tetapi meraih kekuasaan dan diyakini dengan kekuasaan bisa berbuat apa saja. Tidak salah mimpi seperti itu. Mimpi itu terbentuk karena perilaku anggota DPR, DPRD dan DPD sebelumnya di mana gaya hidup mereka berubah cepat dan pesat. Yang tidak punya rumah bisa buat rumah gedong (mewah-red), mobilnya banyak, tanah di mana-mana," papar dia.

Dikatakan Sebastian, potret itulah yang ditangkap oleh mayoritas masyarakat bahwa menjadi anggota DPR adalah perbaikan nasib dan ekonomi. "Nggak jarang caleg keluarkan duit nggak kira-kira, bangun ini itu. Bahkan dana yang digunakan pinjaman. Ketika kalah, mereka tidak kuat menghadapi situasi itu. Jadi stres, dan menarik sumbangan. Itu ekspresi kekecewaan," ujar Sebastian.
( aan / nrl )
-----------------------------------------------------------------------------------
Astaghfirullah, Na'udzubillah mindzalik.
Sungguh sangat menyedihkan. Bagaimana mereka bisa amanah bila niat dari awal hanya untuk memperkaya diri sendiri. Aku jadi ingat cerita tentang Abu Bakar yang diposting di sini, Subhanallah...

Sejujurnya, pada saat akan mencontreng dan menunggu nomer antrian, aku dihantui berjuta pertanyaan:
"apakah aku harus ikut memilih?"
"Apakah memang memilih pemimpin (wakil rakyat)adalah hak? mungkin ya, karena sebagai warga negara.
"Kalau aku tidak memilih, berarti nanti akan ada yang memanfaatkan suaraku dan malah mudharatnya akan lebih besar"
"Apakah aku berdosa jika tidak memilih?
"Apakah dasar aku dikenakan dosa jika tidak memilih?
"Apakah apakah... apakah...

tapi di sisi lain, aku berfikir,
"Apakah ini benar-benar hak ku untuk memilih pemimpin sementara Rasulullah saja, yang sebagai pemimpin dan suri tauladan, pada saat beliau akan meninggal tidak pernah memerintahkan kaum muslimin untuk memilih atau mem-vote seseorang menjadi pengganti beliau. Juga tidak pernah pula dilakukan Abu Bakar, Umar, Ustman atau Ali. Tidak pernah.
Lalu kalau yang dicontohkan agama Islam yang mulia ini seperti itu, kenapa aku harus memilih seorang pemimpin yang sebenarnya bukan hakku? tapi hak orang lain. Berarti aku telah mengambil hak orang lain yang notabene ini bukanlah sembarang hak, ini berhubungan dengan "amanat", "nyawa dan jiwa kaum"...

Pertanyaan demi pertanyaan dan fikiran sisi-sisi lain terus menghantui... sampai akhirnya.... :). (selesai)

Semoga Allah memberikan kepada para pemimpin kita rasa takut untuk menyia-nyiakan amanat yang telah mereka usahakan untuk diraih.
/>

2 komentar:

Terima kasih atas komentar Anda di blog ini. :)

-- Admin Dourbest2day.blogspot.com --