Innalillah wainna Ilayhi raaji'uun..
Segalanya datang dari Allah dan segalanya akan kembali kepadanya. Kalimat inilah yang sering kita ucapkan ketika ada orang yang meninggal. Sering kita mengucapkan sesuatu, sehingga saking seringnya, saking umumnya, sampai terkadang kita lupa akan makna dari kalimat itu sendiri.
Tulisan ini untuk mengingatkan diriku sendiri tentang makna dari "Innalillah wainna Ilayhi raaji'uun". Ketika ayahanda tercintaku meninggal, aku adalah satu-satunya anak yang berada di luar kota dan tidak sempat melihat wajahnya yang terakhir kali, tidak sempat memandikan dan segalanya, karena semuanya telah usai ketika kudatang. Aku sempat pingsan saat berada di halaman rumah dan digotong banyak orang ke dalam. Saat itu aku belum terlalu dalam memaknai kata "Ihlas", Ihlas kalau segalanya adalah milik Allah, Allah hanya menitipkan semuanya kepada kita dan kalau Allah akan mengambil titipan Nya, maka itu adalah hak prerogatif Allah, sama sekali bukan milik kita sehingga kita harus IHLAS merelakan kepergian seseorang yang kita cintai atau kehilangan sesuatu yang kita sukai.
Setelah ihlas, aku mencoba untuk bersabar. Sabar akan semua keadaanku, sabar akan segala apa yang terjadi padaku apapun itu. Semuanya harus kuserahkan Ihlas kepada Allah, biarlah Allah yang maha tau yang terbaik yang menentukan yang apa dan siapa yang terbaik untukku, untuk dunia akhiratku, tugasku hanyalah berusaha, berusaha, berusaha dan berdoa, dan kembali lagi, serahkan semuanya kepada Allah, dan bersabar atas semua ketentuan-Nya.
Ada satu pelajaran yang bisa aku petik. Ternyata, kehidupan manusia dijalankan dengan sesuatu yang simple saja. Semuanya tinggal kita lakukan saja apa yang kita bisa, apa yang kita mampu dan jangan terlalu terfokus oleh suatu "target" dan "keinginan yang besar". Walaupun memang kita butuh target untuk mensupport diri kita, tapi ternyata ada keterkaitan yang besar yang aku rasakan antara "target" dan "ihlas", semakin aku mencoba untuk menargetkan sesuatu, semakin aku tidak bisa mencapai target yang aku inginkan, semakin rasa ihlasku menurun. Padahal saat aku tidak menargetkan sesuatu, aku sering mendapatkan hal yang lebih besar yang Allah berikan dan membuatku sangat bersyukur. Tapi di sisi lain, di saat target itu tidak tercapai walau dengan usaha maksimal yang telah kita lakukan, yang ada dalam diri ini hanyalah suatu kehampaan dan ketidakihlasan menerima suatu keadaan, dan inilah ternyata yang berdampak besar menyakiti dan membebani diri kita sendiri.
Aku sangat terkesan dengan seorang sahabat yang bernama Ummu Sulaim yang pernah aku ceritakan di sini, subhanallah... betapa tegarnya beliau dan betapa ihlasnya melepas kepergian anaknya dan Allah gantikan dengan anak-anak lain yang lebih baik. Subhanallah.. itulah hikmah dari suatu kesabaran. Yakinlah Allah akan memberikan yang terbaik bagi kita bila kita ihlas dan sabar dengan segala ketentuan-Nya. Tentunya dengan satu kunci utama "Innalillah wainna Ilayhi raaji'uun" tidak ada yang kita bawa saat kita lahir dan tidak ada yang kita bawa pada saat kita meninggal. Semua orang dan barang yang kita miliki hanyalah titipan Allah yang suatu saat akan Allah ambil kembali dan tentunya "akan dimintai pertanggungjawaban" masing-masing. So, beruntunglah bagi mereka yang tidak terlalu banyak harta karena pertanggungjawaban harta mereka sedikit dan lebih beruntunglah mereka yang mempunyai harta yang selalu digunakan untuk kebaikan. Janganlah berburuk sangka kepada Allah dan yakinlah apa yang Allah berikan kepada kita adalah yang terbaik bagi kita menurut Allah.
Tulisan ini hanya sekedar perenungan dan nasihat diri.
Segalanya datang dari Allah dan segalanya akan kembali kepadanya. Kalimat inilah yang sering kita ucapkan ketika ada orang yang meninggal. Sering kita mengucapkan sesuatu, sehingga saking seringnya, saking umumnya, sampai terkadang kita lupa akan makna dari kalimat itu sendiri.
Tulisan ini untuk mengingatkan diriku sendiri tentang makna dari "Innalillah wainna Ilayhi raaji'uun". Ketika ayahanda tercintaku meninggal, aku adalah satu-satunya anak yang berada di luar kota dan tidak sempat melihat wajahnya yang terakhir kali, tidak sempat memandikan dan segalanya, karena semuanya telah usai ketika kudatang. Aku sempat pingsan saat berada di halaman rumah dan digotong banyak orang ke dalam. Saat itu aku belum terlalu dalam memaknai kata "Ihlas", Ihlas kalau segalanya adalah milik Allah, Allah hanya menitipkan semuanya kepada kita dan kalau Allah akan mengambil titipan Nya, maka itu adalah hak prerogatif Allah, sama sekali bukan milik kita sehingga kita harus IHLAS merelakan kepergian seseorang yang kita cintai atau kehilangan sesuatu yang kita sukai.
Setelah ihlas, aku mencoba untuk bersabar. Sabar akan semua keadaanku, sabar akan segala apa yang terjadi padaku apapun itu. Semuanya harus kuserahkan Ihlas kepada Allah, biarlah Allah yang maha tau yang terbaik yang menentukan yang apa dan siapa yang terbaik untukku, untuk dunia akhiratku, tugasku hanyalah berusaha, berusaha, berusaha dan berdoa, dan kembali lagi, serahkan semuanya kepada Allah, dan bersabar atas semua ketentuan-Nya.
Ada satu pelajaran yang bisa aku petik. Ternyata, kehidupan manusia dijalankan dengan sesuatu yang simple saja. Semuanya tinggal kita lakukan saja apa yang kita bisa, apa yang kita mampu dan jangan terlalu terfokus oleh suatu "target" dan "keinginan yang besar". Walaupun memang kita butuh target untuk mensupport diri kita, tapi ternyata ada keterkaitan yang besar yang aku rasakan antara "target" dan "ihlas", semakin aku mencoba untuk menargetkan sesuatu, semakin aku tidak bisa mencapai target yang aku inginkan, semakin rasa ihlasku menurun. Padahal saat aku tidak menargetkan sesuatu, aku sering mendapatkan hal yang lebih besar yang Allah berikan dan membuatku sangat bersyukur. Tapi di sisi lain, di saat target itu tidak tercapai walau dengan usaha maksimal yang telah kita lakukan, yang ada dalam diri ini hanyalah suatu kehampaan dan ketidakihlasan menerima suatu keadaan, dan inilah ternyata yang berdampak besar menyakiti dan membebani diri kita sendiri.
Aku sangat terkesan dengan seorang sahabat yang bernama Ummu Sulaim yang pernah aku ceritakan di sini, subhanallah... betapa tegarnya beliau dan betapa ihlasnya melepas kepergian anaknya dan Allah gantikan dengan anak-anak lain yang lebih baik. Subhanallah.. itulah hikmah dari suatu kesabaran. Yakinlah Allah akan memberikan yang terbaik bagi kita bila kita ihlas dan sabar dengan segala ketentuan-Nya. Tentunya dengan satu kunci utama "Innalillah wainna Ilayhi raaji'uun" tidak ada yang kita bawa saat kita lahir dan tidak ada yang kita bawa pada saat kita meninggal. Semua orang dan barang yang kita miliki hanyalah titipan Allah yang suatu saat akan Allah ambil kembali dan tentunya "akan dimintai pertanggungjawaban" masing-masing. So, beruntunglah bagi mereka yang tidak terlalu banyak harta karena pertanggungjawaban harta mereka sedikit dan lebih beruntunglah mereka yang mempunyai harta yang selalu digunakan untuk kebaikan. Janganlah berburuk sangka kepada Allah dan yakinlah apa yang Allah berikan kepada kita adalah yang terbaik bagi kita menurut Allah.
Tulisan ini hanya sekedar perenungan dan nasihat diri.
Assalamualaikum
BalasHapusSubanalloh, tulisan ini bagus banget, Alhamdulillah kalau blog ownernya udah sampai tahap ini.
tapi para motivator sering bicara seperti ini, jangan merubah target, tapi rubahlah strategi untuk mencapai target tersebut.
Wallahua'lam bissowab
Mungkin apa yang dikatakan motivator itu ada benarnya, tapi kita juga harus realistis bahwa tidak semua target dan kemauan kita harus (bisa) kita raih walau dengan merubah strategi. Iya kalau Allah berkehendak dia bisa mencapai target, Kalau tidak....?
BalasHapusBila rumus jangan merubah target, tapi rubahlah strategi untuk mencapai target itu diterapkan dan menjadi rumus mati, maka berdoalah semoga orang itu masih punya iman sehingga dia tidak melakukan segala cara demi pencapaian targetnya.
Rumus orang mukmin hanyalah berusaha, berusaha, berusaha (dengan cara yang halal), bersyukur dengan apapun yang dia dapat, berdoa, dan serahkan semuanya sama Allah yang maha mengetahui yang terbaik. :)