12.14.2008

Bacaan Shalat Dalam Hati

Bolehkah membaca bacaan shalat dalam hati? (tidak dilafadzkan)?.

Kepada yang saya janjikan pembahasan masalah ini, mas Arif dan mba Elly saya mohon maaf baru sempat posting jawabannya sekarang dikarenakan kesibukan dan media penyampai informasi yang sedang bermasalah. Saya ambil pembahasan tentang ini dari tanya jawab tentang membaca Al-Fatihah di balakang imam (Shalat Jahriyah) diambil dari situs ini yang insya Allah secara tidak langsung menjawab apa yang ditanyakan.

MEMBACA AL-FATIHAH DI BELAKANG IMAM [SHALAT JAHRIYAH]
Oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani

Pertanyaan
Syaikh Muhammad Nashidruddin Al-Albani ditanya : Anda menyebutkan dalam kitab Shalat Nabi, dari hadits Abu Hurairah, tentang di nasahkkannya (dihapuskannya)bacaan Al-Fatihah dibelakang Imam yang sedang shalat jahar. Kemudian anda mengeluarkan hadits ini, dan anda sebutkan bahwa hadits tersebut mempunyai penguat dan hadits Umar. Akan tetapi dalam kitab Al-I’tibar Fi An-Nasikh wa Al-Mansukh yang dikarang oleh Al-Hazimii disebutkan bahwa hadits ini diriwayatkan oleh seorang yang tidak dikenal (majhul), dimana tidak ada yang meriwayatkan dari si majhul ini kecuali hadits tersebut, dan seandainya hadits ini tsabit, yang berisi larangan untuk membaca Al-Fatihah di belakang imam yang sedang membaca ayat, maka bagaimana pendapat anda tentang perkataan Al-Hazimi?

Jawaban
Ini adalah perkara yang diperselisihkan oleh para ulama dengan perselisihan yang banyak. Dan perkataan Al-Hazimi ini mewakili para ulama yang berpendapat wajibnya membaca Al-Ftihah di belakang imam yang menjaharkan bacaannya. Di dalam perkataannya ada dua sisi ; yang pertama, dari sisi hadits, yang kedua dari sisi fiqih.

Adapun dari sisi hadits, ialah tuduhan cacat terhadap ke shahihan hadits tersebut dengan anggapan bahwa di dalam hadits tersebut terdapat seorang yang majhul (tidak dikenal). Akan tetapi kemajhulan yang di maksud ternyata adalah seorang perawi yang riwayatnya diterima oleh Imam Az-Zuhri. Tentang perawi ini, memang terdapat banyak komentar mengenai dirinya, akan tetapi mereka menganggap tsiqah (terpercaya), disebabkan pentsiqohan Imam Az-Zuhri, bahkan beliau telah meriwayatkan hadits darinya.

Dan hadits ini ternyata mempunyai penguat-penguat lain yang mewajibkan kita untuk menguatkan pendapat para ulama yang tidak membolehkan membaca Al-Fatihah di belakang imam yang membaca dengan jahar.

Yang paling pokok dalam hal ini, adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

“Artinya : Dan jika dibacakan Al-Qur’an maka perhatikanlah, dan diamlah, agar kalian mendapat rakhmat” [Al-A’raaf : 204]

Pendapat seperti ini merupakan pendapat Imam Ibnul Qayyim, Ibnu Taimiyah dan lain-lain. Setelah mengkompromikan semua dalil yang ada akhirnya mereka menyimpulkan bahwa makmum wajib diam ketika imam menjaharkan bacaan, dan (makmum) wajib membaca ketika imam membaca perlahan.

Masalah sepelik ini tidak boleh disimpulkan hanya berdasarkan satu dua hadits saja. Tapi harus dilihat dari semua hadits yang berkaitan dengan masalah ini.

Maka seandainya kita berpendapat wajibnya membaca Al-Fatihah di belakang imam ketika jahar, ini jelas-jelas bertentangan dengan berbagai masalah dan dalil, dimana tidak mungkin bagi kita menentang dalil-dalill tersebut.

Dalil yang pertama kali kita tentang adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
“Dan jika dibacakan Al-Qur’an maka perhatikanlah dan diamlah”, dari perkataan
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Artinya : Bahwasanya dijadikan imam itu untuk diikuti, jika ia bertakbir, maka bertakbirlah, dan jika ia membaca, maka diamlah”

Termasuk juga satu pertanyaan bahwa jika seorang (makmum) mendapati imam dalam keadaan rukuk, maka ia telah mendapat satu rakaat, padahal dia ini belum membaca
Al-Fatihah. Oleh karena itu hadits.

“Artinya : Tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca Al-Fatihah”

Dan hadits-hadits lain yang semakna adalah merupakan dalil khusus, bukan dalil secara umum. Dan satu hadits (dalil) jika telah bersifat khusus, maka keumumannya menjadi lemah, dan iapun siap dimasuki pengkhususan yang lain, atau dimasuki oleh dalil yang lebih kuat tingkat keumumannya dari hadits tadi.

Maka disini, hadits : “Tidak ada shalat bagi yang tidak membaca Al-Fatihah”. Menurut kami menjadi hadits umum yang terkhususkan, dan pada saat itu juga hadits-hadits lain yang mengandung arti umum tentang wajibnya diam dibelakang imam dalam shalat jahar menjadi lebih kuat (tingkat keumumannya) dari hadits di atas.

Adapun hadits Al-Alaa’.

“Artinya : Barangsiapa yang tidak membaca Al-Fatihah maka shalatnya tidak sempurna”.

Maka hadits ini tidak marfu [1] kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, akan tetapi ia merupakan pendapat Abu Hurairah, ketika ia menjawab dengan jawaban.

”Artinya : Bacalah dalam hatimu”

Dan kalimat : “Bacalah dalam hatimu”, tidak bisa kita artikan membaca sebagaimana lazimnya, yaitu membaca dengan memperdengarkan untuk dirinya, dengan mengeluarkan huruf-huruf dari makhraj-makhraj (tempat-tempaty) huruf.

Dan kalaupun kita dianggap bahwa maksudnya adalah membaca dalam hati sebagaimana bacaan imam dalam shalat sirriyah atau bacaan ketika shalat sendiri. Maka pendapat seperti ini yang merupakan pendapat Abu Hurairah, bertentangan dengan pendapat sebagian besar shahabat, dimana mereka telah berselisih pendapat masalah ini.

Perselisihan ini bukan hanya terjadi setelah zaman para shahabat, tapi perselisihan ini justru dimulai dari zaman mereka. Pendapat Abu Hurairah ini harus dihadapkan dengan seluruh dalil yang terdapat dalam masalah ini, tidak boleh hanya berdalil dengan pendapat beliau saja, karena bertentangan dengan sebagian atsar para shahabat yang justru melarang membaca Al-Fatihah di belakang imam yang shalat jahar.

Adapun hadits “Artinya : Janganlah kalian membaca di belakang imam kecuali dengan Al-Fatihah”.

Kami berpendapat bahwa pengecualian ini ia merupakan suatu tahapan, dari tahapan-tahapan syari’at.

Barangsiapa yang hanya berdalil dengan hadits ini, maka terdapat perkara-perkara yang harus dia ketahui bagaimana ia bersikap terhadap hadits-hadits tersebut. Diantaranya ialah perkataan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Janganlah kalian membaca”, adalah suatu larangan. Dan perkataan beliau : “Melainkan Al-Fatihah” adalah pengecualian dari larangan tersebut. Apakah ini secara bahasa pengecualian ini menjelaskan adanya kewajiban yang dikecualikan (dalam hal membaca Al-Fatihah), atau hanya sekedar bolehnya ? Masalah ini harus diteliti lebih dalam lagi. Pendapat yang kuat, bahwa boleh membaca Al-Fatihah, bukan wajib.

Disamping itu kenyataan yang tidak bisa kita pungkiri adalah bahwa orang yang mendapatkan ruku’nya imam berarti ia mendapatkan rakaat tersebut.

Bagaimanapun juga, dalam masalah ini kami mempunyai suatu pendapat, yang memperkuat pendapat jumhur, dan pendapat ini sama dengan pendapat Imam Malik dan Ahmad. Dan Ibnu Taimiyyah mengatakan bahwa pendapat ini adalah pendapat yang paling adil. Dan dalam hal ini kami tidak ta’ashub (fanatik).

[Disalin dari buku Majmu’ah Fatawa Al-Madina Al-Munawarah, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Albani, Penulis Muhammad Nashiruddin Al-Albani Hafidzzhullah, Penerjemah Adni Kurniawan, Penerbit Pustaka At-Tauhid]
__________
Foote Note
[1]. Hadist Marfu’ adalah hadits yang disandarkan kepada Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam,-pent

Pembahasan yang lain yaitu diambil dari buku "Koreksi total ritual shalat" karangan syeikh Abu Ubaidah Mansyur halaman 103 s/d 105

Tidak menggerakkan lidah ketika membaca lafadz takbir, ketika membaca ayat-ayat al Qur'an dan semua lafadz dzikir dalam shalat.

Termasuk kesalahan yang banyak dilakukan adalah tidak mengerakkan lidah ketika membaca lafadz takbir, ayat-ayat al-qur'an dan dzikir-dzikir yang lain. Semua itu sekedar dilintaskan di dalam hati. Dengan demikian seakan shalat itu adalah gerakan tanpa ada perkataan dan dzikir-dzikir. Pendapat inilah yang dipilih oleh Abu Bakar al Ashamm dan Sufyan ibn 'Uyainah. Keduanya berkata "Sah mengerjakan shalat tanpa diawali dengan takbir." (Hal ini tidak benar dan bertentangan dengan nash syari'ah yang ada).

Alasan mereka berdua itu didasarkan pada firman Allah Ta'aala "Dan dirikan oleh kalian shalat!" (QS Al Baqarah (2):43). Selain itu Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wassalam juga mengajarkan shalat dengan gerakannya, dimana beliau telah bersabda "Shalatlah kalian seperti kalian melihatku mengerjakan shalat". (Diriwayatkan oleh al Bukhari di dalam Shahih (I/465-466) dan Abu Dawud di dalam al Sunan nomor 589). Dengan demikian yang menjadi cermin itu adalah gerakan nabi, bukan perkataannya. Oleh karena itulah yang disebut shalat itu adalah gerakan. Shalat orang yang tidak bisa lagi bergerak dianggap gugur, sekalipun dia bisa mengucapkan berbagai macam dzikir.

Pendapat itu adalah tidak benar dan bertentangan dengan nash-nash syari'ah. Allah Ta'aala telah berfirman "Karena itu bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al-Qur'an." (QS. Al Muzammil (73):20). Ayat ini menyanggah bahwa shalat itu hanya gerakan tanpa perkataan. Ada hadits Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wassalam yang memperkuat pendapat ini "Tidak sah shalat kecuali dengan (membaca) surat pembuka al Kitab (membaca al Fatihah)." (Diriwayatkan oleh al Bukhari di dalam al Shahih (II/236-237), Muslim di dalam al Shahih (I/295) nomor 394, Abdul Razzaq dalam al Mushannaf (II/93), Ibn Abi Syaibah di dalam al Mushannaf (I/143), Abu Dawud di dalam al Sunan nomor 822, al Tirmidzi di dalam al Jaami' (II/25), al nasaa'i di dalam al Mujtabaa (II/137) dan dalam Fadhaail al Qur'an nomor 34, Ibn Majah dalam al Sunan nomor 837 dan al Darimi di dalam al Sunan (I/283)).

Adapun sabda Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wassalam "Shalatlah kalian sebagaimana aku mengerjakan shalat," maka fokusnya adalah diri Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wassalam yang mengerjakan tata cara shalat, bukan berarti shalat itu hanya gerakan tanpa ucapan. Dengan demikian tidak ada pertentangan dengan dalil yang mengatakan bahwa di dalam shalat juga harus membaca formula-formula tertentu sebagaimana yang telah kami sebutkan. Membaca al Fatihah adalah sesuatu yang fardhu di dalam shalat seperti pendapat yang dianut oleh mayoritas ulama dan mayoritas sahabat nabi radhiyallahu 'anhum. (Badaai' al shanaa'i'(I/110)).

Seandainya mengulangi ayat berulang kali namun hanya di dalam hati sudah dianggap cukup di dalam shalat -- dan itu tidak akan pernah terjadi -- pasti Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wassalam tidak akan menjawab pertanyaan orang yang minta diajari shalat "Kemudian bacalah olehmu ayat Al-Qur'an yang kamu anggap mudah!" (*) Karena yang dimaksud dengan membaca itu bukan hanya terlintas di dalam hati. Akan tetapi yang dimaksud dengan membaca itu --baik didalam pengertian bahasa atau syariat -- adalah menggerakkan lidah seperti yang telah maklum adanya. Di antara dalil yang memperkuat pernyataan ini adalah firman Allah Ta'aala "Jangan kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) Al-Qur'an karena hendak cepat-cepat (menguasai) nya." (QS. al Qiyaamah (75):16).

Oleh karena itulah para ulama melarang orang junub membaca ayat Al-Qur'an memperbolehkan melintaskan bacaan ayat hanya di dalam hati. Sebab hanya sekedar melintaskan bacaan ayat dalam hati, tidak digolongkan membaca.

Al Nawawi rahimahullahu ta'aala berkata "Orang yang sedang junub, haidh dan nifas boleh melintaskan bacaan ayat Al-Qur'an di dalam hati tanpa melafadzkannya. Begitu juga dia diperbolehkan melihat mushhaf sambil membacanya di dalam hati." (al Adzkaar halaman 10).

Muhammad ibn Rusyd berkata "Adapun seseorang yang membaca dalam hati tanpa menggerakkan lidahnya maka hal itu tidak disebut dengan membaca. Karena yang disebut dengan membaca adalah dengan melafadzkan di mulut. Dengan suara hati inilah perbuatan manusia tidak dianggap hukumnya. Allah 'Azza wa Jalla telah berfirman "Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya." (QS. al Baqarah (2):286).

Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wassalam telah bersabda "Allah mengampuni dari umatku terhadap apa yang masih terjadi di dalam jiwa (hati) mereka." (Shahih, lihat Irwaa' al Ghaliil (VII/139) nomor 2062).

Sebagaimana telah diketahui bahwa keburukan di dalam hati manusia tidak diberi hukuman dan tidak membahayakan bagi dirinya di sisi Allah, maka sama halnya dengan bacaan ataupun kebaikan yang masih berada di dalam hati juga tidak akan dibalas ataupun dianggap ada. Yang dianggap adalah bacaan yang disertai dengan menggerakkan mulut dan kebaikan yang telah terealisasi dalam perbuatan." (al Bayaan wa al Tahshiil (I/491).

Al Nawawi berkata "... adapun selain imam, maka disunnahkan baginya untuk tidak mengeraskan suara ketika membaca lafadz takbir, baik apakah dia sedang menjadi makmum atau sedang shalat sendiri. Tidak mengeraskan suara ini jika ia tidak mejumpai rintangan, seperti suara yang sangat gaduh. Batas minimal suara yang pelan adalah bisa didengar oleh dirinya sendiri jika pendengarannya normal. Ini berlaku secara umum baik ketika membaca ayat-ayat Al-Qur'an, takbir, membaca tasbih ketika ruku', tasyahhud, salam, dan doa-doa dalam shalat baik yang hukumnya wajib mapun yang sunnah. Apa yang dia baca tidak dianggap cukup selama masih belum didengar oleh dirinya sendiri, dengan syarat pendengarannya normal dan tidak diganggu dengan hal-hal lainnya seperti telah dijelaskan di atas. Jika tidak demikian, maka dia harus mengeraskan suara sampai bisa mendengar suaranya sendiri. Setelah itu bacaan yang dia kerjakan barulah dianggap mencukupi. Demikianlah nash yang dikemukakan oleh al Syafi'i dan disepakati oleh para pengikutnya. Sedangkan rekan-rekan kami berkata "Disunnah agar tidak menambah volume suara yang dapat dia dengarkan sendiri." Al Syafi'i berkata di dalam al Umm "Hendaklah suaranya bisa didengar sendiri dan orang yang berada di sampingnya. Tidak patut dia menambah volume suara lebih dari ukuran itu." (al Majmuu' (III/295)).

Mayoritas ulama lebih memilih untuk mensyaratkan bacaan minimal bisa didengar oleh diri pembaca sendiri. Sedangkan menurut ulama mahzab Maliki cukup menggerakkan mulut saja ketika membaca ayat-ayat Al-Qur'an. Namun lebih baik jika bisa didengar oleh dirinya sendiri sebagai upaya untuk menghindar dari perselisihan pendapat. (Lihat al Diin al Khaalish (II/143)).
/>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas komentar Anda di blog ini. :)

-- Admin Dourbest2day.blogspot.com --